Rabu, 29 Desember 2010

'Dalam Mihrab Cinta': 57 Tangisan dalam Satu Setengah Jam

Apabila Festival Film Indonesia memiliki kategori penghargaan untuk film dengan adegan tangisan paling banyak, mungkin film ini juaranya. Film 'Dalam Mihrab Cinta' disutradarai oleh Habiburrahman El Shirazy, seorang penulis sukses yang karyanya, 'Ketika Cinta Bertasbih' menjadi satu-satunya film dengan setting Mesir asli –yang lainnya palsu. Sebagai film drama relijius, film ini mengetengahkan cerita pertobatan atau keinsyafan yang dipenuhi adegan mengharu-biru sehingga setiap sepuluh menit sekali karakter-karakter dalam film ini menangis –dengan berbagai sebab.

Tangisan pertama datang dari seorang gadis berjilbab bernama Zizi –entah mengapa setiap gadis berjilbab dalam film Indonesia selalu suka menangis. Tangisan kedua datang dari Syamsul Hadi, protagonis film ini, yang dipukuli teman-teman pesantrennya karena dianggap mencuri. Tangisan ketiga berasal dari ibu Syamsul dan Nadia, adik Syamsul yang mengetahui Syamsul ‘mencuri’ di pesantren. Tangisan keempat dan selanjutnya tentu saja melibatkan Syamsul dan para perempuan muslim yang dalam film ini cukup mendapat tempat dominan.

Namun,  adegan tangis-menangis dan pertobatan tidaklah sah tanpa sebuah cerita yang memungkinkan kemungkaran didefinisikan, dan amar ma'ruf ditegakkan. Syamsul (Dude Harlino) pemuda 20 tahunan yang berasal dari Pekalongan pergi menuntut ilmu di pesantren Al Furqon di Kediri. Dalam perjalanan, ia menolong seorang gadis berjilbab bernama Zizi dari usaha perampasan. Zizi adalah putri pemilik pesantren tempat Syamsul belajar. Ironisnya, di pesantren Al Furqon, Syamsul terusir karena dituduh mencuri akibat fitnah sahabatnya sendiri, Burhan.

Orang tua Syamsul kecewa. Ia pun dianiaya oleh kakak dan ayahnya sendiri. Karena keluarganya tak lagi percaya, Syamsul pun kabur dari rumah dan menjadi pencopet. Dalam sebuah aksinya, secara tak sengaja ia mencopet seorang gadis solehah bernama Sylvie, yang kebetulan pacar Burhan. Padahal, Burhan juga mengincar Zizi.  Dengan motivasi untuk membalas dendam pada Burhan, Syamsul berusaha menemukan Sylvie. Namun berkat berbagai peristiwa dan terutama berkat hidayah Allah, Syamsul akhirnya bertobat dan berubah menjadi ustad yang sangat terkenal.

Seperti narasi film-film pertobatan/keinsyafan pada umumnya, tentu saja Burhan sang penjahat bengis akan dihukum seberat-beratnya. Tapi, cerita belum berakhir karena Syamsul harus memilih dua perempuan solehah yang sama-sama menginginkannya. Sylvie yang mencampakkan Burhan dalam sebuah adegan yang akan cukup membuat marah para aktivis perempuan, berbalik membenci Burhan dan memilih Syamsul. Zizi yang selalu bersama keluarga Syamsul diam-diam jatuh cinta pada Syamsul. Alhamdulillah, Syamsul mendapatkan jalan untuk menghindari kemungkaran poligami. Pesan akhir film ini adalah jangan menelepon sambil menyetir kalau Anda tidak mau mati sia-sia.

Dibandingkan film-film horor dan seksploitasi yang menutup 2010 ini, 'Dalam Mihrab Cinta' bisa dibilang masih sedikit lebih baik meskipun jalinan cerita dan terutama akting para pemain akan selalu mengingatkan kita pada drama-drama relijius di televisi. Penempatan Dude Harlino dan Asmirandah –keduanya pemain sinetron- semakin menguatkan kesan ini, selain karena terdapatnya banyak adegan monolog yang menjadi piranti estetik utama sinetron-sinetron masa kini. Tapi, apa makna membanjirnya film-film dengan pesan menggurui dan Islami seperti ini? Apakah film (dan pembuat film) ini berusaha menyajikan gambaran Islam yang berbeda dari film-film sejenis? Apakah film-film ini berkehendak untuk menjadi alat dakwah bagi orang Indonesia yang nyata-nyata sudah Islam? Ataukah ini hanya trik lama Sinemart yang merasa berhasil dengan film macam 'Ketika Cinta Bertasbih'?

Saya baru pulang dari sebuah negeri di jazirah Arab untuk melihat film-film berhasa Arab. Tak satu pun dari film-film yang saya tonton mengetengahkan dialog karakter yang didahului dengan kata-kata “Insya Allah”, “Subhanallah”, atau pun kata-kata yang dianggap Islam lainnya. Tak satu pun saya lihat adegan orang salat. Tak juga, narasi pertobatan/keinsyafan menjadi tema cerita. Kalau seperti ini, mana yang lebih Islam, yang lebih Arab --negeri-negeri yang benar-benar berada di jazirah Arab atau Indonesia?

Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film. (mmu/mmu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar